Koleksi Naskah Bawah Tanah Tjikeroeh & Tandjoengsari (1930–sekarang) adalah kumpulan arsip anti‑otoritarian yang disusun dari manuskrip-manuskrip langka: pamflet gelap, transkrip lisan, puisi kemarahan, hingga fiksi spekulatif yang beredar secara diam-diam di kalangan rakyat tani, seniman jalanan, dan aktivis desa sejak awal abad ke‑20. Seluruh naskah direproduksi ulang dalam format cetak dan digital, kemudian disimpan dalam sistem self-hosted melalui OnionShare—repositori digital terenkripsi yang hanya dapat diakses melalui Tor Browser. Langkah ini diambil demi menjamin kerahasiaan, keamanan, dan kemandirian distribusi dari intervensi negara dan kekuatan hegemonik.
Sejarah koleksi ini tidak terlepas dari konteks kebudayaan lokal Cikeruh (sekarang Jatinangor) dan Tanjungsari, dua wilayah yang sejak awal abad ke‑20 menjadi ruang eksperimentasi sosial dan politik berbasis seni pertunjukan rakyat. Dan fondasi budaya koleksi ini terhubung langsung dengan dinamika kesenian rakyat di wilayah Tanjungsari dan Cikeruh, dua titik historis yang membentuk identitas pinggiran Sumedang dengan karakter sosial yang keras, terbuka, dan penuh kontradiksi.
Salah satu bentuk ekspresi yang menjadi pusat dokumentasi kami adalah Tari Cikeruhan—tari rakyat yang tumbuh dari tradisi agraris Cikeruh dan mengandung lapisan-lapisan erotisme yang simbolik. Di era 1940–1960-an, tarian ini dipertunjukkan di pelataran rumah, ladang pasca-panen, hingga halaman masjid saat bulan purnama. Goyangan pinggul yang menggoda, ekspresi wajah para penari perempuan dan laki-laki yang mengaburkan batas antara ritual dan godaan, menjadi bentuk komunikasi bawah sadar tentang tubuh, kerja, dan hasrat dalam masyarakat desa.
Namun sejak pertengahan 1980-an, ketika moralitas mulai dipaksakan sebagai norma publik oleh kekuasaan dan kelompok elite lokal, Tari Cikeruhan perlahan-lahan dilucuti dari unsur erotismenya. Para penari dituntut tampil “tertib”, “sopan”, dan “bermartabat”—istilah yang tidak lahir dari masyarakat sendiri, melainkan dari narasi kuasa yang ingin merapikan kekacauan rakyat. Akibatnya, tari ini kehilangan daya hidupnya, direduksi menjadi sekadar atraksi kultural dalam festival resmi, dan perlahan ditinggalkan. Hari ini, jejak Tari Cikeruhan hanya tersisa dalam catatan pinggir buku acara kawinan tua, atau dalam ingatan samar para perempuan tua di Cikeruh yang pernah menari dengan kaki telanjang di atas tanah basah.
Dalam lanskap kebudayaan yang terus terdesak moralitas dan komodifikasi, seni reak—gabungan dari seni musik, tari, dan mistik dalam kuda lumping dan renggong—muncul sebagai satu-satunya bentuk seni pertunjukan rakyat yang tetap hidup dan liar di wilayah Jatinangor dan Tanjungsari. Reak tidak tunduk pada kurasi negara, tidak tunduk pada batas panggung, dan tidak tunduk pada logika tontonan santun. Ia hidup di gang-gang sempit, di pekarangan warga, di jalan desa saat hajatan, dengan energi mentah: tubuh yang menari kesurupan, musik yang menghentak, dan simbolisme liar, bukan di panggung-panggung festival yang dikurasi.
Pada 1950-an hingga 1970-an, pertunjukan kuda lumping di Cikeruh menjadi media penyebaran pamflet terselubung: selebaran kecil diselipkan di gagang cemeti, diikatkan pada sabuk penari, bahkan dijadikan jimat palsu. Namun, ketika kekuasaan negara semakin represif terhadap ekspresi budaya rakyat, dan ketika Sumedang kota mulai terpusat pada proyek birokratisasi dan komodifikasi kesenian, maka muncullah kuda renggong sebagai bentuk tandingan dari kuda lumping yang dianggap terlalu liar dan tidak terkontrol.
Keberlangsungan tradisi reak di Jatinangor dan sekitarnya, alih-alih di pusat kota Sumedang, merupakan bukti bahwa budaya perlawanan menemukan tempatnya di pinggiran—di mana kontrol administratif longgar, komunitas lebih cair, dan sejarah pemberontakan disimpan dalam bentuk yang tak terdokumentasi secara resmi. Koleksi naskah ini menjadi pelengkap arsip bawah tanah yang memperlihatkan bagaimana ekspresi budaya lokal telah lama menjadi medium politik anti‑otoritarian yang canggih, fleksibel, dan terus bermetamorfosis.
Sementara Sumedang kota tenggelam dalam festival formal dan kesenian yang sudah dipoles menjadi representasi “daerah” yang steril, wilayah (yang dulunya) pinggiran seperti Jatinangor dan Tanjungsari justru mempertahankan denyut liar yang tak bisa dijinakkan. Koleksi Naskah Bawah Tanah ini adalah bentuk penghormatan terhadap denyut tersebut—melacak kembali naskah-naskah yang hidup, dibisikkan, diselipkan, dan dituliskan dari tubuh-tubuh yang menari dalam ketidaktundukan.
Dengan penyimpanan digital yang tersembunyi dan distribusi tanpa nama, naskah-naskah ini tidak hanya melawan pelupaan, tapi juga terus memperluas medan imajinasi politik bagi generasi baru (generasi terburuk). Di wilayah di mana musik reak (bunyi dogdog) masih menggema dan tubuh-tubuh penari erotis dalam Tari Cikeruhan belum dibekukan oleh sensor, perlawanan masih berlangsung. Dan di sanalah arsip ini hidup.